Info

SELAMAT DATANG

Selamat datang di gudang lagu mandailing,saya senang anda berada disini.Tapi maaf gudang lagu mandailing sedang dalam perbaikan.silakan anda berkunjung di lain waktu.Terima kasih...Horas...horas...

Maret 07, 2012

Lafran Pane

Apakah anda kenal dengan salah satu tokoh intelektual Muslim Indonesia ini? Saia yakin hanya sebagian kecil dari kita saja yang kenal dengan sosok beliau. Lafran Pane adalah salah satu tokoh yang berpengaruh dalam pergerakan di Indonesia, karena beliau adalah pendiri organisasi mahasiswa terbesar di Indonesia yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

Lafran Pane dilahirkan di Sipirok-Tapanuli Selatan, Sumatera Utara pada tanggal 5 Februari 1922. Beliau merupakan putra dari Sutan Pangurabaan Pane,juga saudara dari Sanusi Pane dan Armijn Pane.Ayahnya seorang tokoh yang cukup berpengauh di Sumatera Utara terutama daerah Tapanuli Selatan. Sutan Pangurabaan Pane adalah seorang tokoh nasional, ia pernah aktif menjadi pimpinan Partai Indonesia atau PARTINDO. Semasa muda, tokoh pendiri HMI ini tumbuh dalam lingkungan nasionalis-muslim dan beliau pernah menganyam pendidikan di Pesantren, Ibtidaiyah, Wusta dan sekolah Muhammadiyah

Sebagai salah satu tokoh pemuda yang aktif dalam pergerakan nasional, Lafran Pane ikut ke dalam kelompok pemuda yang ikut memprakarsai Proklamasi 17 Agustus 1945 bersama Adam Malik, Sukarni, N. Nitimiharjo, Winaka, Chaerul Saleh, Pandu Wiguna, Kusnaeni, Darwis, Johar Nur, Armunanto, dan Hanafi. Pergolakan pemikirannya saat kuliah di STI (Sekolah Tinggi Islam) yang saat ini berubah menjadi UII Yogyakarta. Pada saat itu, beliau memiliki sebuah pemikiran sebagai berikut:

Melihat dan menyadari keadaan kehidupan mahasiswa yang beragama Islam pada waktu itu, yang pada umumnya belum memahami dan mengamalkan ajaran agamanya. Keadaan yang demikian adalah akibat dari sitem pendidikan dan kondisi masyarakat pada waktu itu. Karena itu perlu dibentuk organisasi untuk merubah keadaan tersebut. Organisasi mahasiswa ini harus mempunyai kemampuan untuk mengikuti alam pikiran mahasiswa yang selalu menginginkan inovasi atau pembaharuan dalam segala bidang, termasuk pemahaman dan penghayatan ajaran agamanya, yaitu agama Islam. Tujuan tersebut tidak akan terlaksana kalau NKRI tidak merdeka, rakyatnya melarat. Maka organisasi ini harus turut mempertahankan Negara Republik Indonesia kedalam dan keluar, serta ikut memperhatikan dan mengusahakan kemakmuran rakyat.

Dan akhirnya HMI berdiri pada tanggal 5 Februari 1947 di salah satu ruangan kuliah STI di Jalan Setiodiningratan (sekarang Panembahan Senopati). Ketika itu Lafran Pane berusia 25 tahun dan baru duduk di tingkat I STI. dan berhasil memotivasi mahasiswa STI khususnya mahasiswa di Yogyakarta, untuk mengerti dan memahami gagasannya untuk mendirikan HMI.

Setiap 25 Januari, sebuah organisasi bernama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) akan mengenang satu orang: Prof. Drs. H. Lafran Pane. Dia pemrakarsa berdirinya HMI, organisasi yang banyak melahirkan sumber daya manusia (SDM) terbaik di negeri ini, juga punya andil besar terhadap lahirnya proklamasi.

Pada 25 Januari 1991, beliau meninggal dunia. Yudi Latif dalam bukunya Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad Ke-20, hal 502 menyebutkan: Lafran Pane sebagai generasi ketiga inteligensia muslim Indonesia setelah generasi pertama (Tjokroaminoto, Agus Salim,dll), generasi kedua (M. Natsir, M. Roem dan Kasman Singodimedjo pada 1950-an), generasi keempat (Nurcholish Majid, Imadudin Abdurrahim dan Djohan Efendi pada 1970-an).

Meskipun Lafran Pane menyejarah, tetapi di kampung kelahirannya, di Desa Pagurabaan, Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan, nama itu hampir tidak pernah disebutkan dalam berbagai kegiatan. Tapi, bukan cuma Lafran Pane, juga semua anggota keluarga besar Sutan Pangurabaan Pane.

Setiap orang di Kota Sipirok paham kalau Pane berasal dari Desa Pangurabaan. Masyarakat marga Pane konon berasal dari Utara, merantau ke wilah Selatan melalui jalur sungai Bila (Aek Bila) di Kecamatan Biru. Dari daerah itu, leluhur marga Pane kemudian menetap di Kecamatan Arse, lantas menyebar ke wilayah Kecamatan Sipirok, tinggal dan beranak-pinak di Desa Pangurabaan.

Awalnya, Desa Pangurabaan dominan dihuni masyarakat bermarga Pane. Dalam perkembangan kemudian terjadi asimilasi budaya akibat perkawinan dan arus pendatang, Desa Pangurabaan tidak identik lagi dengan marga Pane.

Desa ini dibelah dua jalur Jalan Lintas Sumatra, sekitar 6 km dari ibu kota Sipirok ke arah Utara. Bertetangga dengan Desa Bagas Nagodang, sebuah desa yang merupakan salah satu desa pertama di Kecamatan Sipirok. Kehadiran masyarakat marga Pane di Kecamatan Sipirok erat kaitannya dengan tradisi persaudaraan yang dibangun dengan masyarakat marga Siregar, yakni masyarakat yang dominan menghuni Desa Bagas Na Godang.

Di pinggir jalan, di salah satu rumah tua bercat hijau yang kurang terawat, di sanalah Lafran Pane pernah tinggal. Ayahnya, Sutan Pangurabaan Pane, seorang budayawan, sastrawan, wartawan, intelektual, dan tokoh pergerakan terkenal dari Partai Indonesia (PARTINDO) di Sumatera Utara. Dari tangan Sutan Pangurabaan Pane telah lahir banyak buku berupa novel yang ditulis dalam bahasa Batak dari lingkungan masyarakat beradat Angkola–yakni masyarakat Batak yang tinggal di Kecamatan Sipirok.

Salah satunya karya Sutan Pangurabaan Pane adalah Tolbok Haleon (Hati yang Kemarau) diterbitkan Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah 1982 dalam katagori naskah kuno. Naskah novel ini pertama kali terbit 1933 di Medan, dan sampai tahun 1980-an masih dipakai sebagai bacaan di sekolah. Tolbok Haleon berkisah tentang kehidupan Lilian Lolosan dan Sitti Bajani pada masa kolonial di Tapanuli Selatan. Novel ini terbit Sutan Pangurabaan Pane tidak berbicara tentang kawin paksa dan pertentangan adat seperti kebanyak novel yang muncul saat itu. Dia bercerita tentang nasib cinta tokohnya yang mesti mengungsi akibat peperangan melawan Belanda.

Lafran Pane adalah anak keenam Sutan Pangurabaan Pane. Di tangan Sutan Pangurabaan Pane yang bervisi jauh ke depan dan sudah membayangkan masa depan sebuah negeri yang merdeka, anak-anaknya dididik menjadi generasi muda bangsa yang keras dan melawan. Tiga dari anaknya kemudian menjadi tokoh nasional, Armijn Pane dan Sanusi Pane (pelopor pujangga baru dan sejarawan nasional), dan juga Lafran Pane.

Tapi keluarga para tokoh nasional ini tidak begitu dikenal di kampungnya, di Desa Pangurabaan. Tidak banyak yang tahu kalau Sutan Pangurabaan Pane pernah hidup di antara mereka sebagai figur ayah yang keras dalam mendidik anak-anaknya sehingga berhasil sebagai tokoh nasional.

Sebenarnya Lafran Pane lahir di Padangsidempuan 5 Februari 1922. Untuk menghindari berbagai macam tafsiran, karena bertepatan dengan berdirinya HMI Lafran Pane mengubah tanggal lahirnya menjadi 12 April 1923. Sebelum masuk Sekolah Tinggi Islam (STI) latar belakang pendidikan yang utama dari Lafran Pane adalah Pesantren, HIS, MULO, dan AMS Muhammadiyah. Dia juga pernah belajar di sekolah-sekolah nasionalis, seperti Taman Aksara di Sipirok dan Taman Siswa di Medan (Agussalim Sitompul 1976).

Sebelum tamat dari STI, Lafran pindah ke Akademi Ilmu Politik (AIP) pada bulan April 1948. Setelah Universitas Gajah Mada (UGM) dinegerikan tanggal 19 desember 1949, dan AIP dimasukkan dalam Fakultas Hukum, Ekonomi, Sosial Politik (HESP). Dalam sejarah Universitas Gajah Mada (UGM), Lafran termasuk mahasiswa-mahasiswa yang pertama mencapai gelar sarjana, yaitu 26 Januari 1953. Dengan sendirinya Drs. Lafran Pane menjadi Sarjana Ilmu Politik yang pertama di Indonesia.

Mengenai Lafran Pane, Sujoko Prasodjo dalam sebuah artikelnya di majalah Media nomor : 7 Thn. III. Rajab 1376 H/ Februari 1957, menuliskan :“ Sesungguhnya, tahun-tahun permulaan riwayat HMI adalah hampir identik dengan sebagian kehidupan Lafran Pane sendiri. Karena dialah yang punya andil terbanyak pada mula kelahiran HMI, kalau tidak boleh kita katakan sebagai tokoh pendiri utamanya”.

Semasa di STI inilah Lafran Pane mendirikan Himpunan Mahasiswa Islam. HMI merupakan organisasi mahasiswa yang berlabelkan “Islam” pertama di Indonesia dengan dua tujuan dasar. Pertama, mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia. Kedua, Menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam. Dua tujuan inilah yang kelak menjadi fondasi dasar gerakan HMI sebagai organisasi maupun individu-individu yang pernah dikader di HMI.

Jika dinilai dari perspektif hari ini, pandangan nasionalistik rumusan tujuan tersebut barangkali tidak tampak luar biasa. Namun jika dinilai dari standar tujuan organisasi-organisasi Islam pada masa itu, tujuan nasionalistik HMI itu memberikan sebuah pengakuan bahwa Islam dan Keindonesiaan tidaklah berlawanan, tetapi berjalin berkelindan. Dengan kata lain Islam harus mampu beradaptasi dengan Indonesia, bukan sebaliknya.

Dalam rangka mensosialisasikan gagasan keislaman-keindonesiaanya. Pada Kongres Muslimin Indonesia (KMI) 20-25 Desember 1949 di Yogyakarta yang dihadiri oleh 185 organisasi alim ulama dan Intelegensia seluruh Indonesia, Lafran Pane menulis sebuah artikel dalam pedoman lengkap kongres KMI (Yogyakarta, Panitia Pusat KMI Bagian Penerangan, 1949, hal 56). Artikel tersebut berjudul “Keadaan dan Kemungkinan Kebudayaan Islam di Indonesia”.

Dalam tulisan tersebut Lafran membagi masyarakat islam menjadi 4 kelompok. Pertama, golongan awam , yaitu mereka yang mengamalkan ajaran islam itu sebagai kewajiban yang diadatkan seperti upacara kawin, mati dan selamatan.

Kedua, golongan alim ulama dan pengikut-pengikutnya yang ingin agama islam dipraktekan sesuai dengan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad S.A.W.

Ketiga, golongan alim ulama dan pengikutnya yang terpengaruh oleh mistik. Pengaruh mistik ini menyebabkan mereka berpandangan bahwa hidup hanyalah untuk akhirat saja. Mereka tidak begitu memikirkan lagi kehidupan dunia (ekonomi, politik, pendidikan).

Sedangkan golongan keempat adalah golongan kecil yang mecoba menyesuaikan diri dengan kemauan zaman, selaras dengan wujud dan hakikat agama Islam. Mereka berusaha, supaya agama itu benar-benar dapat dipraktekan dalam masyarakat Indonesia sekarang ini.

Lafran sendiri meyakini bahwa agama Islam dapat memenuhi keperluan-keperluan manusia pada segala waktu dan tempat, artinya dapat menselaraskan diri dengan keadaan dan keperluan masyarakat dimanapun juga. Adanya bermacam-macam bangsa yang berbeda-beda masyarakatnya, yang terganting pada faktor alam, kebiasaan, dan lain-lain. Maka kebudayaan Islam dapat diselaraskan dengan masyarakat masing-masing.

Sebagai muslim dan warga Negara Republik Indonesia, Lafran juga menunjukan semangat nasionalismenya. Dalam kesempatan lain, pada pidato pengukuhan Lafran Pane sebagai Guru Besar dalam mata pelajaran Ilmu Tata Negara pada Fakultas Keguruan Ilmu Sosial, IKIP Yogyakarta (sekarang UNY), Kamis 16 Juli 1970, Lafran menyebutkan bahwa Pancasila merupakan hal yang tidak bisa berubah. Pancasila harus dipertahankan sebagai dasar Negara Republik Indonesia. Namun ia juga tidak menolak beragam pandangan tentang pancasila, Lafran mengatakan dalam pidatonya:

“Saya termasuk orang yang tidak setuju kalau Pemerintah atau MPR mengadakan interprestasi yang tegar mengenai pancasila ini, karena dengan demikian terikatlah pancasila dengan waktu. Biarkan saja setiap golongan mempunyai interpretasi sendiri-sendiri mengenai pancasila ini. Dan interpretasi golongan tersebut mungkin akan berbeda-beda sesuai dengan perkembangan zaman. Adanya interpretasi yang berbeda-beda menunjukan kemampuan pancasila ini untuk selam-lamanya sebagai dasar (filsafat) Negara “. (hal.6)

Dari sepak terjang Lafran Pane dan sumbangannya yang luar biasa terhadap negara, sangat layak putra daerah dari Kecamatan Sipirok ini menjadi PAHLAWAN NASIONAL.



Artikel/Lagu Mp3 Lain Yang Mungkin Anda Cari:

0 komentar:

Posting Komentar

Wajib beri komentar...!!!,kritik dan sarannya di tunggu kawan...!!!